Senin, 24 Agustus 2009

laskar pelangi

Judul Buku : Laskar Pelangi
Pengarang : Andrea Hirata
Penyunting : Suhindrati a. Shinta
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Jumlah Halaman : xviii + 534
Tahun Terbit : September 2005 (Cetakan Pertama, November 2007 cetakan ke duabelas



Adrea Hirata, pemuda yg lahir di Belitong yg berpendidikan ekonomi dari Universitas Indonesia berhasil melahirkan karya fenomenal berupa Tetralogi Lasar Pelangi, yang menjadi Best Seller dan bahkan sudah merambah ke luar negeri. Andrea Hirata tak dikenal sebelumnya tak pernah menulis sepotongpun cerpen tiba- tiba mucul langsung menulis tetralogi. Sutau keajaiban bagi penulis pemula, dengan gaya realis bertabur metafora yg berani, tak biasa, tak terduga , kadang kala ngawur, namun amat memikat.

Laskar Pelangi, walau dengan kualitas kertas di bawah buku Sang Pemimpi maupun Edensor, adalah awal yang diletakkan oleh Andrea untuk buku selanjutnya : Sang Pemimpi dan Edensor. Walau di dalam Sang Pemimpi dan Edensor, tokoh-tokoh awal Laskar Pelangi hanya disinggung sedikit, dan seakan sambil lalu. awal sesungguhnya adalah jiwa atau pribadi si tokoh cerita : Ikal. Ikal tokoh tengil, cerdas, rendah hati, mudah penasaran terhadap sesuatu yang baru, suka bertualang, romantis, bertanggungjawab, mempunyai kegigihan dalam mencapai sesuatu, dan secara kasap mata berambut keriting, dan berbadan kecil. Kegigihan dan kepercayaan akan tercapainya sesuatu digambarkan bukan serta merta tumbuh dari diri Ikal, namun dilengkapi oleh tokoh-tokoh dan kondisi lingkungan Ikal sehari-hari. Tokoh Ikal terbaca sebagai Andrea Hirata.
Laskar Pelangi sesungguhnya adalah wajah kehidupan sebagian besar anak-anak Indonesia di era tahun 70 – 80’an, atau bahkan saat ini. Yang penting bermain dan bergembira, makan seadanya, kalau lelah tidur. Beres deh!. Walaupun pengalaman Andrea lebih spektakuler karena dia hidup di pulau yang keras namun indah : Pulau Belitong. Kami bayangkan betapa penghuni pulau tersebut kadang ”merasa sendirian” bila berjalan memutari pulau Belitong yang dikelilingi oleh lautan luas! Namun si Ikal and his gang-nya memanfaatkan kondisi lingkungan ini dengan penuh keceriaan dan syukur (yang awalnya mungkin suatu bentuk kepasrahan dari kondisi keseharian yang selalu dihadapi), yang nantinya akan bermanfaat bagi kehidupan selanjutnya. Andrea menggambarkan bagaimana kondisi pendidikan dari yayasan Muhammadiyah dengan sangat menyentuh. Ibu guru Muslimah yang mempunyai semangat tinggi mendorong siswa-siswanya agar menjadi seorang yang ”berhasil” dengan semangat tanpa tanda jasa (mengingatkan saya akan Bapak saya, baik sebagai seorang pendidik ataupun sebagai orang Muhammadiyah yang juga terlibat dalam yayasan pendidikan Muhammadiyah dan bersemangat ’45, tak jauh berbeda dengan Pak Harfan dan Bu Muslimah).

Dalam Laskar Pelangi kita diajak oleh Ikal untuk bertualang bersama anggota Laskar Pelangi yang lain : Lintang, Trapani, Mahar, Borek, Kucai, Sahara, A Kiong, Syahdan, dan Harun. Sepuluh anak. Memenuhi syarat agar SD Muhammadiyah Belitong masih tetap ada! Dalam Laskar Pelangi ini Ikal berkenalan dengan A Ling, kekasih platonisnya, yang selalu menyemangati hidup Ikal hingga dalam buku Edensor (mungkin hingga sekarang).

Seputar kehidupan PN (sebutan untuk Perusahaan Negara Timah Belitong) dikupas tuntas sesuai pandangan Ikal yang terang benderang dengan metafora-metafora-nya yang sangat percaya diri.
Kehidupan sebagai anak pegawai rendahan PN, anak laut, siswa yang belajar di bawah gedung sekolah reyot (namun dinaungi oleh pohon filicium yang rindang dan merupakan satu kumpulan yang dipenuhi oleh keceriaan hidup berbagai makhluk), bermain di saat hujan, perlombaan antar sekolah, dan perasaan yg bercampur aduk menjadi satu kemenangan khas anak-anak, memenuhi cerita ceria Ikal di masa anak-anak (SD) hingga menjelang remaja (SMP). Di Bab akhir Laskar Pelangi, Ikal bercerita tentang duabelas tahun kemudian setelah lulus SMP, dan bagaimana potret kesepuluh pasukan Laskar Pelangi di saat itu.
Kelemahan novel ini, menurut kami, hanya terletak pada cara mengakhiri cerita. Semestinya, novel ini sudah ditutup pada bab 33: Anarkonisme, yang menceritakan kejatuhan Babel (Bangka Belitung) yang dulu bergelimbang Timah. Bab 34: Gotik, menurut saya menjadi ekor cerita yang membingungkan. Karena penutur ”Aku” secara tiba-tiba menjadi orang lain, dan bukan lagi Ikal. Bab 34 ini menjadi sebuah kemubaziran. Sama persis seperti seorang pelukis yang seharusnya berhenti menguaskan catnya pada bidang lukis yang sudah sempurna, tapi kemudian menjadi berantakan karena sebuah goresan yang tidak perlu.

Tidak ada komentar: